Di ruang keluarga kami terhampar karpet berwarna coklat susu. Pilihan warna bisa menggambarkan kesukaan anggota keluarga yang senang coklat dan susu. Tapi di ruang itu kami biasa berkumpul; kadang berdiskusi ringan di antara kami, kadang tilawah bersama. Tidak jarang tempat itu berubah suasana seperti kapal pecah karena barang-barang mainan yang berantakan pasca anak-anak mengeksplor suasana pikirannya pada level usia mereka.
“Dek, jangan pernah menjadi sebab terbetangnya hijab yang menghalangi ilmu bagi anak-anak kita sedang mereka tidak menyadarinya”. Saya membuka perbincangan dengan istri suatu waktu
“Contohnya apa, Bi?” Sahut istri dengan nada tanya. Kami biasa mensharingkan tentang masa depan anak-anak selagi ada waktu -dan tentu teragendakan- di sela kesibukan mendidik dan mengasuh anak-anak non biologis yang Allah hadirkan untuk kami.
“Ya apa saja dari perkara-perkara remeh temeh hingga hal besar yang bisa mengusik hati guru dari anak-anak kita. Doakan kebaikan bagi guru mereka. Maklumi ketidak sempurnaan para guru sebagai manusia. Patuhi semua hal dari petuah mereka selama tidak dalam rangkaian bermaksiat. Yang tidak kalah penting; tanggalkan status “kebesaran” kita kecuali bahwa kita adalah orang tua dari salah satu murid yang dengan rela hati diasuh dan dididik menjadi manusia berguna. Lupakan diri kita sebagai direktur sebagai kepala bagian sebagai ini dan itu dalam kaitan kita menjadi bagian dalam unsur mendidik anak kita. Jika tergabung dalam group sebagaimana menjadi trend zaman now agar kiranya pandai memposisikan diri. Jangan berprilaku seperti kawanan syetan yang senang menguping “info-info langit” lalu dijadikan sebagai bahan menghasut dan menggelincirkan manusia.” Kali ini saya nampak lebih banyak bicara dari biasanya.
“Kalau abi sedang menegur guru atau musyrif/ah, bagaimana penjelasannya?” Istri mencoba hubungkan dengan tugas lain di luar tanggung jawab saya sebagai bapak bagi anak-anak yang sedang menjadi murid di suatu lembaga pendidikan.
“Saya kadang kasihan, musyrif/ah yang dengan rela hati berjuang dan berkorban. Meninggalkan keluarga non jauh di sana, mestinya bukan karena tidak bakti orang tua dan dengan menahan kangen kepada keluarga. Dengan bisyaroh yang mungkin tak seberapa. Juga bukan karena alasan dari pada nganggur dan bukan tidak ada peluang profesi lain yang dari sisi bayaran tentu lebih besar. Bukan. Bukankah salah satu dari mereka bahkan keluarganya ada yang memimpin lembaga? Tapi ia ikhlas berada di sini, menanggung teguran dari atas bawah, dari samping juga.” Sambung istri panjang lebar.
“Salah satu kakak kami yang di Banten ya punya pondok pesantren dengan santri lima ribuan.” Saya melengkapi penyampaian dari istri.
“Lalu..?” katanya
“Ya kita mencoba menikmati qadarullah, di mana pun kita berpijak yaitu bumi Allah. Di situlah kita punya tanggung jawab memikul amanah dakwah. Tidak perlu menyoal dan apalagi meruncingkan latar belakang yang berbeda-beda. Kita benci rasisme, maka di mana pun berjuang dan dari mana pun mitra perjuangan hendaknya dipandang dengan kacamata yang jernih bahwa Allah Maha luas karunia dan ilmu-Nya. Allah tentu tidak menghendaki para pejuang-Nya hanya bertumpu pada satu titik koordinat, tapi mereka tersebar di mana-mana dengan selalu menjaga sinergi satu dengan lainnya.”
“Kita beda suku dengan watak yang jauh berbeda, saya Jawa bersuamikan orang Madura.” Istri membuka analogi
“Nah, kalau orang Madura diidentikkan keras sementara orang Jawa itu lembut, kalau gak ngepasi ketemu yang galak yach?” Saya membumbui dengan canda. “Bukankah batu yang keras bisa lengket dengan lumpur yang lembek?”
“Berarti aku lumpurnya donk?” Kali ini istri sedikit cemberut. Tapi tetap tersirat ekspresi cinta dan kesetiaan menyimak seksama.
“Bukan begitu. Maksudnya tanah liat sebagai simbol kelembutan yang memungkinkan bisa lengket kepada batu.” Saya coba menjelaskan. “Maka jangan ikutan berwatak batu biar tidak tang teng terus, bertengkar kasar-kasaran hingga terpecah, kan lebih baik jadi lumpur yang dapat menghanyutkan cinta berombak asmara? atau berlaku layaknya tanah liat yang terus lengket pada batu.. cie cie”
“Ah.. hubunganya dengan menegur musyrif/ah apa?” Istri mengajak kembali ke laptop.
“Oo tentu perlu dibedakan duduk perkaranya sekaligus duduk statusnya! Jadi tidak kebolak balik. Dan inilah salah satu fitnah zaman; adanya perkara yang jungkir balik. Termasuk seseorang yang punya tanggung jawab mengatur tapi dipaksa diatur dengan ragam dalih pembenaran. Sedangkan yang mestinya mengikuti aturan beralih fungsi mengatur-atur. Camkan wasiat nyambungnya: Kun imaman mutha’an aw ma’muman muthi’an (menjadi pemimpin yang ditaati atau menjadi makmum yang mentaati).”
“Adapun setiap perlakuan guru terhadap anak-anak kita pandanglah sebagai cara Allah merancang kedewasaan anak-anak kita. Ada kala kita bahagia dalam syukur. Dan hendaknya tidak berkurang ekspresi bahagia karena sebab pahala dari sabar. Allah sedang mengabulkan doa-doa kita hingga anak-anak berjumpa dengan orang-orang terbaik dalam cara pandang kita menyempurnakan ikhtiar kesuksesan bagi masa depan mereka. Mari bersabar dan bersyukur agar terjaga dalam kebaikan.” Saya pungkasi diskusi.
Anak-anak kita sedang menyusuri lorong kemuliaan. Jangan keluhkan jarak tempuh mereka mengembara, sedang Nabi yang kita panuti menempuh jalan hijrah yang terjal nan jauh. Bahkan Asy-Syafi’i rahimahullah menganggap orang berakal dan beradab pasti cinta berkelana menyusuri jalan-jalan ilmu yang berliku dan berdebu.
Ajari anak-anak kita memaknai indahnya tawakkal dan lezatnya kesyukuran. Jangan meragukan karunia Allah yang terhampar membentang. Siti Hajar ‘alaihas salam mengais karunia hingga berjumpa takdirnya berguyur sumber mata air keberkahan justru di lembah tandus yang kering kerontang. Tergelar ketaatan, jauh dari keangkuhan. Ada keyakinan dan ada kebesaran jiwa-jiwa meniti jalan ketakwaan. Allahul Musta’an.
Anshor Hasan