ADIL

Laki-laki yang baik tak akan menggunakan kisah seorang wanita di masa Nabi Saw yang diberi mahar hanya dengan cincin besi dengan tujuan agar calon istrinya tidak menuntut mahar yang tinggi.

Sebaliknya, seorang wanita yang baik tidak akan menceritakan bahwa mahar yang diberikan oleh Nabi Saw kepada istrinya rata-rata dua puluh ekor unta demi menuntut calon suaminya agar memberikan kepadanya mahar yang tinggi.

Pun demikian setelah keduanya diikat dalam bingkai rumah tangga.

Seorang suami yang shalih tidak akan menuntut hak-haknya sebagai suami agar ditaati dan dihormati oleh istrinya dengan cara menyodorkan puluhan hingga ratusan hadist tentang kewajiban-kewajiban istri terhadap suami.

Demikian halnya, seorang istri yang shalihah tidak akan memaparkan berbagai dalil tentang kewajiban suami terhadap istrinya hanya demi pemenuhan hak-haknya sebagai istri.

Kita sering kali lupa, saat dalil-dalil agama itu sampai kepada kita pada dasarnya dalil-dalil itu berbicara kepada kita sebelum kepada orang lain.

Artinya; pihak yang pertama kali dituntut oleh Allah swt dan Rasul-Nya adalah diri kita, bukan orang lain.

Oleh karena itu, sebelum kita menuntut orang lain, pada dasarnya kita telah dituntut oleh Allah swt dan Rasulullah Saw.

Maka hamba yang baik adalah orang yang berusaha untuk memenuhi kewajiban-nya kepada Sang Khaliq sebelum ia menuntut hak-haknya dari sang makhluk.

Begitulah kaidahnya jika kita ingin merasakan kenikmatan ber-mu’amalah dengan siapapun.

Ketua yayasan atau kepala sekolah tidak selayaknya menuntut para guru all out all time di sekolah, jika kebutuhan dasar guru tersebut tidak dipenuhi secara baik.

Seorang majikan harus berusaha memberikan upah yang layak kepada karyawannya, bahkan diberikan sebelum kering keringatnya jika ia ingin menuntut karyawan tersebut bekerja secara maksimal.

Dan sebaliknya, seorang guru ataupun karyawan haruslah bekerja secara sungguh-sungguh jika hak-haknya telah dipenuhi secara baik.

Maka adil itu tidak hanya soal keputusan di pengadilan, atau saat pembagian warisan namun juga saat anda menggunakan dalil-dalil agama. Karena kelak dalil-dalil itu akan menjadi hujah; pembelamu atau musuhmu.

Wallahu a’lam….

Suhari Abu Fatih
Pelayan Mahad Alfatih Klaten

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *