Pagi ini saya membaca tulisan Pak Dahlan Iskan di akun FB-nya tentang ide Mendikbud, Mr. Nadiem Makarim.
Selain memuji kekayaan pak Nadiem yang mencapai angka 1T itu, Pak DI juga memuji penampilan keren pak menteri saat menyampaikan ide tentang “Kampus Merdeka”.
Saya termasuk orang yang mengagumi pak menteri tapi juga ‘cemburu’ dengan beliau. Selain kaya, ganteng, sukses dan sekarang jadi menteri. Beliau juga berani mendobrak kejumudan dalam dunia pendidikan selama ini, setidaknya menurut saya.
Saya banyak setuju dengan ide-ide beliau dalam dunia pendidikan. Mulai dari penyederhanaan administrasi guru, penghapusan UN hingga yang terakhir menjadikan sekolah tinggi sebagai “kampus merdeka”.
Sejak lama saya sudah mengkritik UN yang bahkan oleh sebagian sekolah dijadikan tolok ukur kualitas lembaga.
Yang lebih naif lagi; sebagian sekolah Islam menganggap bahwa UN adalah medan jihad, akibatnya mata pelajaran yang lain diabaikan atau dikalahkan karena keyakinan kesuksesan siswa di masa depan tergantung berhasil tidaknya mereka saat UN. Bahkan nilai-nilai akhlak pun akhirnya tidak dianggap penting.
Saya juga berharap ide “kampus merdeka” ini akan mampu merevolusi dunia kampus dari lembaga penyuplai tenaga kerja menjadi lembaga pencipta lapangan kerja.
Lantas apa hubungannya dengan judul tulisan saya ini; “Ngaji Merdeka”?
Kata merdeka itu selalu menarik bagi saya karena beberapa hal;
Pertama; bangsa ini terlalu lama hidup dalam kolonialisme dan penjajahan yang berdampak amat buruk bagi watak masyarakat kita seperti kurangnya sikap percaya diri. Padahal sikap percaya diri adalah modal besar bagi kemajuan bangsa.
Kedua; sebagai penulis dan penceramah kemerdekaan berpikir adalah modal yang amat penting. Banyak penulis gagal menuangkan ide-ide nya menjadi tulisan karena pikirannya belum merdeka.
Khawatir kalau tulisan nya menyinggung perasaan atau dianggap menyindir orang lain. Akhirnya dia urungkan niat dan dia bekukan ide kreatifnya. Sayang sekali.
Dan banyak penceramah atau mubaligh kurang lepas menyampaikan materi karena terkungkung oleh doktrin organisasinya.
Bahkan makna ayat-ayat Al Qur’an atau Syarah hadist Nabawi seringkali disesuaikan dengan manhaj organisasi atau selera audience. Ini tipe penceramah yang belum merdeka.
Ketiga; banyak orang awam yang tidak berani mendatangi suatu majlis hanya karena ia mendapat informasi kalau ustadz pengampu-nya berbeda manhaj atau berbeda fikroh dengan kelompoknya.
Padahal ia sama sekali tidak faham; apa yang dimaksud dengan manhaj dan apa yang dimaksud dengan fikroh itu sendiri?
Ini tipologi santri yang belum merdeka karena memiliki ustadz yang juga belum merdeka.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Imam Syafi’i rahimahumullah pasca mengkhatamkan kitab Al Muwatho’ karya gurunya, Imam Malik rahimahumullah, beliau meminta ijin untuk berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy Syaibani di Kufah.
Meskipun Imam Malik rahimahumullah mengetahui bahwa Imam Muhammad bin Hasan Asy Syaibani adalah penopang madzhab Hanafi, namun Imam Malik tetap mengijinkan Imam Syafi’i untuk berguru kepada beliau.
Imam Syafi’i adalah contoh murid yang merdeka, sedangkan Imam Malik adalah contoh guru yang merdeka.
Betapa langka-nya orang-orang seperti beliau berdua ini saat ini. Padahal umat sangat memerlukan ulama seperti ini.
Ulama yang tidak mudah melarang murid-murid nya untuk ngaji dan menimba ilmu kepada siapa saja asalkan Ahlussunah wal jama’ah alias mengikuti Baginda Nabi Saw dan para sahabatnya dan kapabel dalam bidang nya.
Wallahu a’lam
Suhari Abu Fatih
Pengasuh Mahad Alfatih Klaten