SEMPIT PIKIRAN

Seperti biasa, selepas kajian saya berbincang dengan beberapa jama’ah termasuk Kang Dul.
Kang Dul ini termasuk jama’ah paling aktif di setiap kajian saya, baik di masjid AlFirdaus kampus Mahad Alfatih, maupun di tempat yang lain.

“Alhamdulillah meski seharian hujan cukup deras, tapi jama’ah tetap pada datang kajian ustadz” kata Kang Dul membuka pembicaraan.

“Alhamdulillah kang, semoga yang datang mendapatkan pahala berlipat, sedangkan yang berhalangan datang tetap mendapatkan pahala niat”. Jawab saya refleks.

“Oh iya kang, sudah sekian lama kok saya tidak melihat Kang Topa ya, apa dia lagi sakit?” Tanya saya menyambung .

“Bukan ustadz. Kang Topa sehat-sehat saja. Saya pernah main ke rumahnya. Sekarang dia ngaji sama ustadz Badruddin” jawab Kang Paimin, salah seorang jama’ah yang usianya paling sepuh.

“Wah payah, Si Topa itu. Masak sekian lama ngaji sama ustadz terus pindah begitu saja tanpa pamitan dan tanpa ucapan terimakasih. Benar-benar gak tahu diri. Semoga kita dijaga oleh Allah agar tetap Istiqomah ya ustadz” sahut Kang Dul berapi-api.

“Gak perlu gitu kang. Ngaji itu bebas, mau dimana saja dengan ustadz siapa saja silahkan. Soal pemitan atau ucapan terimakasih bagi saya itu soal sepele. Jangan sampai kita memandang negatif orang-orang yang saat ini tidak lagi ngaji bersama kita. Dan yang lebih penting, jangan menganggap orang yang tidak lagi ngaji bersama kita sebagai orang yang tidak Istiqomah”. Tegur saya.

“Lho kok gitu ustadz?!” Protes Kang Dul tidak terima.

“Gini kang. Istiqomah atau tidak itu ukurannya jangan sempit begitu. Kalau orang masih bersama kelompok kita, kita anggap ia istiqomah sedangkan jika ia tidak lagi bersama kita, kita vonis ia tidak istiqomah. Itu pikiran sempit yang harus direnovasi” Jawab saya tegas.

“Gitu ya tadz, wah berarti selama ini saya salah definisi” kata Kang Dul merendah

Sejurus kemudian, Kang Bejo datang membawa senampan kopi panas. Dari baunya terasa sekali kalau kopi tersebut adalah kopi pabrikan yang sebentar lagi akan dikenai cukai oleh pemerintah.

“Bahkan ada yang lebih parah lagi kang. Ada kelompok yang menganggap hanya diri mereka yang berdakwah. Hingga ketika ada orang-orang yang tidak lagi bersama mereka, mereka menyebutnya berguguran di jalan dakwah. Padahal orang-orang yang dianggap berguguran itu tetap ngaji, tetap ngajar ngaji, tetap ngisi taklim dan tetap berperan aktif di tengah masyarakat. Nah sebaiknya kita tidak berpikiran seperti itu”. Imbuh saya

“Ashiiaap ustadz!” Gaya milenial Kang Dul pun keluar.

“Masjid dan rumah kita bolehlah sempit, tapi pikiran kita harus tetap luas. Bergaullah dengan siapa saja, jangan batasi diri karena muamalah itu bab yang teramat luas dan fleksibel. Tapi ngomong-ngomong, kopinya nanti keburu dingin, monggo-monggo kita seruput dengan basmalah” kata saya mempersilahkan.

Lalu perbincangan kami beralih ke berbagai tema, mengalir tipis-tipis seperti gerimis yang masih turun malam itu.

Suhari Abu Fatih
Pengasuh Ma’had Alfatih Klaten

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *