MADZHAB HUMOR

Seorang kawan bertanya kepada saya; “Ustadz, saya mengamati sebakda shalat fardhu ada jama’ah yang mengucap hamdalah namun ada pula yang mengucap istighfar, kenapa begitu?”

“Yang mengucap hamdalah adalah penganut “madzhab santai” sedangkan yang mengucapkan istighfar adalah pengikut “madzhab hati-hati”. Keduanya aliran thariqat dalam ilmu tasawuf” jawab saya santai.

Kawan tersebut kembali bertanya: “Tolong dijelaskan secara lebih detail ustadz, karena saya belum terlalu faham”.

Saya sedikit merubah posisi duduk saya untuk melanjutkan penjelasan terkait hal diatas: “Begini maksudnya; penganut madzhab pertama adalah orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan rasa syukur kepada Allah swt atas berbagai nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Hidup adalah nikmat. Anggota tubuh dengan segenap fungsinya adalah nikmat. Kesehatan tubuh adalah nikmat. Termasuk kesempatan ruku’ dan sujud adalah nikmat yang luar biasa. Maka selepas shalat, mereka ekspresikan rasa syukur itu dengan ucapan Hamdallah. Bahkan shalat itu sendiri adalah wujud syukur mereka kepada Allah swt”.

“Kemudian maksud dari “madzhab hati-hati” itu bagaimana ustadz?” Tanya kawan tersebut penasaran

“Pengikut madzhab yang kedua adalah orang-orang yang khawatir jika shalatnya masih banyak kekurangan disana-sini; kurang tuma’ninahnya, kurang fokusnya, kurang fasih bacaannya dan kurang khusyu’nya. Sehingga selesai shalat mereka memohon ampunan kepada Allah swt atas kekurangan demi kekurangan tersebut. Bahkan mereka takut kalau shalat tersebut hanyalah ajang pamer dan riya’ kepada manusia”. Terang saya panjang lebar

“Terus ustadz cenderung yang mana? Tanya kawan tersebut menyelidik.

“Sebenarnya keduanya baik dan memiliki hujah yang sama-sama kuat. Namun saya sendiri lebih nyaman mengikuti madzhab yang pertama. Meskipun dulu saya lebih cenderung kepada madzhab yang kedua. Maka banyak isi ceramah dan materi kajian saya zaman dulu terkesan lebih kenceng daripada sekarang”. Jawab saya

“Apa itu berarti madzhab yang kedua kurang tepat, menurut ustadz?” Tanya kawan saya

“Tidak. Saya tidak menganggap demikian. Hanya saja, sejak saya pindah ke madzhab yang pertama hidup saya jauh lebih rileks, suasana hati lebih tenang dan yang jelas asam lambung saya sembuh” kata saya sambil tersenyum

“Hahaha, ustadz bisa aja. Tapi memang saya amati gaya ceramah ustadz belakangan ini cenderung lebih kalem bahkan banyak guyonannya” kata kawan tersebut

“Lho, aslinya saya itu suka sekali humor cuma selera humor itu perlahan hilang dan sirna sejak saya ikut suatu komunitas yang isinya rata-rata orang yang serius. Bicaranya berat-berat, senang membincangkan urusan negara dan politik bahkan tema-tema internasional yang saya gak terlalu faham. Padahal saya ini kan hanya ustadz kampung” kata saya terkekeh.

“Belakangan ini saya menyadari kalau gaya hidup terlalu serius seperti itu kurang cocok bagi saya. Maka saya memilih pindah madzhab; madzhab santai alias madzhab humor… hahahaha”. Kata saya

“Kayaknya saya juga pengin pindah madzhab ustadz, takut kena asam lambung.. hahahaha” timpal kawan saya

Wallahu a’lam

Suhari Abu Fatih
Pengasuh Mahad Alfatih Klaten

Tinggalkan Komentar