BUIH

Buih. Itulah kondisi riil umat Islam di akhir zaman yang membuat diri mereka benar-benar menjadi santapan lezat umat-umat yang lain seperti yang didawuhkan oleh kangjeng Nabi. Bukan karena jumlah mereka yang minoritas, namun karena umat ini tak memiliki bobot alias under capacity. Terlihat menggunung, tapi bukan gunung yang perkasa. Terlihat diatas arus, ternyata dibawa oleh arus bukan membuat arus. Terlihat ramai, namun digerakkan orang lain. Jangankan agenda kerja, rencana saja tidak punya. Jangankan memimpin dunia, memimpin organisasi saja kemampuan tak ada.

Sekelompok orang dari Karbala datang menemui Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bertanya tentang darah seekor nyamuk. Jauh-jauh mereka meninggalkan negerinya di Iraq ke Madinah hanya untuk meributkan perkara sepele. “Celaka kalian, darah nyamuk kalian ributkan sedangkan darah suci cucunda Nabi saw yang mulia tertumpah di negeri kalian tak kalian hiraukan” tegur Ibnu Abbas sembari mengajarkan satu disiplin ilmu langka kepada mereka; fiqih prioritas. Perkara seperti apa yang mestinya mereka urus dan mana yang tak perlu dirisaukan.

Terlalu lama umat tersesat dalam kekacauan pengajaran fiqih karena kedangkalan ilmu dan bashirah para pendidiknya hingga terus saja meributkan hukum qunut saat shalat subuh, adzan dua kali atau satu kali saat jum’atan, tarawih sebelas atau dua puluh tiga rakaat, celana cingkrang atau isbal, hingga lupa dengan masalah induk; memerangi kerusakan aqidah, pemurtadan, dan degradasi moral.

Nikmat sekali meributkan hukum demokrasi seolah itu bagian dari tsawabit dan ushuliyyat hingga melupakan pemiskinan, korupsi, perampokan SDA, hingga lupa pula peran internasional: melindungi Masjdil Aqsha di Palestina dan bersikap terhadap penindasan Muslim Uighur.

Ramai-ramai mereka menghujat Ratna Sarumpaet yang jujur mengaku telah menyebar hoax, namun menganggap enteng hoax yang diciptakan istana sejak 2014 padahal pihak yang dirugikan jutaan manusia.
Saling bantah tentang pin Palu Arit di topi seorang laki-laki saat debat capres, tapi capres yang sedang berdebat menebar hoax tentang impor jagung, kebakaran hutan, konflik agraria, atau tentang tahun berdirinya KPK tak pernah diingatkan, dan terus dibela.
Sebagaimana keributan soal siapa yang berbohong; Yusril atau HRS? Menarik sekali hingga diulas validasi screenshot dan digital forensiknya. Sedangkan kebohongan presiden yang sangat kasat mata dan berulang tak ada yang mempersoalkan.
Apakah hoax dan bohong bisa berubah menjadi halal jika pelakunya penguasa?

Luhut memberi amplop kepada seorang kiyai riuh rendah dibahasnya, seolah itu kejadian satu-satunya. Sedangkan belum lama Presiden bagi-bagi amplop bahkan memberi dengan cara dilemparkan dari mobil sekilas saja pembahasannya. Kedua perilaku itu sungguh tak terpuji dan merusak peradaban, namun yang dilakukan oleh Jokowi jauh lebih tidak terpuji. Begini saja tak boleh dikomentari. Terus apa tugas seorang da’i? Umat diseret hingga tak memiliki cita rasa peradaban, kenapa tak ada yang gelisah?

Selama umat ini meributkan perkara-perkara kecil dan tak menguasai fiqih prioritas, selama itu pula umat ini akan tetap menjadi buih. Tak dihargai dan terus berada dalam kendali pihak lain tanpa mereka sadari.
Nasrun minallah wa fathun qorib
Billahit tawfiq wal hidayah

Suhari Abu Fatih
Pengasuh Mahad Alfatih

Tinggalkan Komentar

bokep indo kontol rasa balado bokep vietnam bokep jilbab