⁠⁠⁠⁠⁠PERANTAU

Di Negeri Ginseng ini, sekitar empat puluh ribu anak bangsa merantau. Mereka datang dari berbagai penjuru tanah air untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Gaji yang tinggi dan berbagai bonus yang menggiurkan umumnya menjadi sebab; kenapa mereka rela berpisah dengan keluarga berbulan, bahkan bertahun lamanya. Jam kerja yang padat dan hampir tidak ada waktu libur seringkali merubah total pola hidup mereka. Jika ditanah air, biasanya mereka hanya bekerja maksimal delapan jam, maka disini minimal dua belas jam per hari. Hari Ahadpun banyak yang tetap masuk kerja. Benar-benar gila kerja.

Banyak kendala yang mereka alami selama bekerja di negeri ini. Mulai dari bos yang super bawel bin cerewet hingga tak sedikit yang hilang hak asasinya dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu dan jumatan. Bagi orang yang lemah imannya, urusan sholat tak akan pernah membuatnya gelisah karena toh biasanya mereka juga tidak sholat. Bahkan demi mencari hiburan, tak sedikit mereka yang mabuk-mabukan di apartemen dan terjerumus dalam kehidupan bebas ala korea.

Namun bagi pekerja yang kuat imannya, tak hanya gelisah dengan sulitnya mereka menjalankan ibadah, mereka pun gelisah dengan sulitnya mencari halal food. Bahkan dalam rangka mengisi waktu luang mereka yang tidak banyak, mereka sering mendatangkan para da’i dari tanah air untuk menyelenggarakan kajian keislaman. Tak hanya itu, puluhan masjid dan musholla telah mereka dirikan di negeri atheis ini. Satu langkah yang membuat siapapun kagum. Mereka bahkan sering menggalang dana untuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan, baik di tanah air maupun di dunia islam lainnya.

Baik tipe yang pertama (lemah iman), maupun yang kedua (kuat imannya) rasa-rasanya ada kesepakatan diantara mereka; bahwa selama mereka berada di negeri rantau ini mereka harus mengumpulkan penghasilan sebanyak mungkin agar memiliki cukup bekal jika nanti kembali ke tanah air.

Saudaraku…
Banyak yang menyadari sesadar-sadarnya kalau selama mereka berada di negeri ini, status mereka adalah perantau. Bukan penduduk asli. Namun tidak banyak yang menyadari bahwa selama mereka tinggal di dunia, sebenarnya statusnya juga perantau. Kita bukan penduduk asli Bumi ini. Kita hanya singgah sementara. Bukankah Rasulullah saw telah mengingatkan;

“Jadilah engkau di dunia ini bagai orang asing atau musafir yang sedang singgah. Ibnu Umar berkata; jika engkau berada di sore hari, janganlah engkau tunggu datangnya pagi. Dan jika engkau berada di pagi hari, jangan engkau tunggu datangnya sore. Gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu untuk kehidupan setelah matimu!”. (HR Al Bukhari)

Ya, ibarat musafir yang sedang singgah dibawah sebuah pohon yang sangat rindang dengan danau nan segar airnya dan ditingkahi angin yang sepoi. Seperti itulah dunia. Ia begitu menggoda dan melenakan sehingga tak jarang yang membatalkan perjalanan dan memutuskan untuk tinggal selamanya di bawah pohon tersebut.

Oleh karena itulah, kita menemukan dalam epidose kehidupan Imam As Syafi’I rahimahullah kemanapun beliau pergi, beliau selalu membawa sebuah tongkat meski ketika itu usia beliau masih sangat muda sehingga banyak orang yang bertanya keheranan; kenapa Anda memakai tongkat, padahal tubuh anda masih muda belia? Beliau menjawab; “agar aku selalu ingat bahwa aku adalah seorang musafir”.

Kesadaran inilah yang umumnya membuat para pendahulu kita begitu produktif dalam amal dan jihad. Laksana para pekerja asing yang sedang merantau di negeri orang yang siang malamnya digunakan untuk mengumpulkan bekal guna dibawa pulang ke kampung halaman.
Sehingga kita dapati mereka begitu sedikit tidur diwaktu malam. Siang hari berjihad dan berpuasa. Infaq dan sedekah menjadi tradisi yang sedikitpun tak membuat mereka takut jatuh miskin. Berdakwah dan mengajarkan Islam menjadi hobi mereka. Tak waktu terbuang sia-sia untuk hal-hal yang kurang bermanfaat apalagi maksiat. Ini generasi terdahulu umat ini.

Saudaraku…
Sangat berbeda dengan merantau di luar negeri, yang kapanpun kita mau, kita bisa kembali lagi. Merantau di dunia ini hanya sekali. Tak ada kesempatan kedua. Jika waktu kita telah usai, kedatangan Izrail akan memutus semuanya dan yang tersisa hanya penyesalan. Teriakan kita untuk minta kembali tak akan dihiraukan.

Saat itulah, tangis tak lagi digubris, harta tak lagi berharga dan jabatan tak lagi membanggakan.

“Pada hari, dimana harta dan anak-anak tak lagi bermanfaat. Kecuali orang datang kepada Allah dengan qalbun salim”. (QS: Asy Syu’ara’: 88)

hadanallahu wa iyyakum

Guji, Daegu, Korsel, 7 juni 2017

alfaqir suhari abu fatih
#ramadhaninkorea
#ramadhan1438H

Tinggalkan Komentar