Lelaki itu benar-benar sangat lelah. Dalam satu hari ia berusaha mengetuk pintu rumah dan hati siapa saja yang bisa ia datangi. Berbagai cara ia lakukan. Beragam strategi ia kerahkan, namun sejauh ini masih nihil. Belum banyak yang meresponnya.
Wajahnya makin tirus dan badannya makin ringkih dan kurus. Tampak sekali gurat lelah dari tatapan matanya. “Suamiku, istirahatlah!”. Lirih istrinya menganjurkannya untuk tidur. Namun ia justru berkata: “Wahai Khadijah, waktu untuk tidur itu telah berlalu”.
Kalau ia boleh memilih, pastilah ia akan memilih menjadi manusia biasa yang bisa menikmati hidup dengan biasa bersama keluarga tercinta, karena sejak ia dititah menjadi pemikul risalah, segenap kaum membenci dan memusuhinya. Hanya bekal ayat “serukanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan tak perlu kau hiraukan orang-orang musyrik” (QS: Al Hijr: 94) lah yang menjadi bekal perjalanan panjangnya.
Jika bukan karena cintanya yang begitu tulus dan tak bertepi kepada kaumnya, pastilah ia telah mendoakan kebinasaan kepada bangsanya. Saat bertubi tubuhnya dihujani bebatuan warga Thaif, datanglah malaikat menawarkan pembalasan namun ia tolak tawaran tersebut. Justru tangannya yang mulia mengetuk Arasy; “duhai Allah, berilah petunjuk kaumku karena sungguh mereka belum menyadari (kebenaran yang aku bawa)”. Wahai Jibril, sungguh aku berharap, kelak dari sulbi-sulbi mereka lahir generasi yang tunduk patuh kepada Allah”.
Tiap hari Daar An Nadwah memproduksi hoax demi menjatuhkan namanya. Fitnah tak pernah henti. Negative stigma, black campaign dan character assassination terus dilakukan terhadap dirinya. Mulai dari tuduhan bahwa ia tukang sihir hingga orang gila. Seluruh bangsa telah sepakat bahwa ia adalah common enemy yang telah membelah bangsa menjadi dua bagian, merusak kebhinekaan, menghancurkan persaudaraan, menebarkan benih-benih permusuhan antar sesama anak bangsa dan berbagai sebutan yang hampir tak mampu dimuat buku-buku sejarah. Namun tahukah Anda, ia sering menangis rindu saat teringat kampung halamannya (Makkah) meski ia telah menetap di Madinah?
Ia terpaksa hijrah ke Madinah demi menyelamatkan agamanya, namun sungguh cintanya kepada kaumnya tak pernah berkurang sedikitpun jua.
Saat Jabir bin Abdillah mengundangnya dalam jamuan yang sederhana dan tak seberapa, ia menolak datang seorang diri karena saat itu suhu musim dingin sangat menusuk tulang dan para sahabatnya telah berhari-hari menggali khandaq dalam kondisi paceklik. Dia sendiri telah mengikatkan tiga batu dibagian perutnya demi menahan rasa lapar yang sangat. “Ayolah ikut aku karena Jabir telah mengundang kita semua untuk makan di rumahnya”. Demikian seruannya yang diikuti para sahabatnya dengan riang gembira hingga istri Jabir hampir pingsan melihat banyaknya orang yang datang ke rumahnya sementara apa yang ia masak tidaklah seberapa. “Biarkan masakan itu diatas tungkunya!” perintahnya kepada keluarga Jabir, lalu ia melayani para sahabatnya satu persatu hingga tiga ribu manusia makan dengan lahapnya, sedangkan ia sendiri adalah orang terakhir yang menikmatinya. Jamuan yang mestinya hanya cukup untuk sekitar sepuluh orang, namun karena mukjizat dan cintanya kepada para sahabatnya, makanan itu mencukupi tiga ribu pasukan bahkan sebagian mereka membungkusnya.
Jika ia mau, ia bisa menjadi orang terkaya diseluruh dunia. Sungguh tidak sekali saja Allah menawarkan dunia dan seisinya kepada dirinya, namun ia lebih memilih syurga dengan segenap nikmatnya. Ia adalah pemilik otoritas dari seperlima pampasan perang (ghanimah) yang tentu jika diuangkan jumlahnya sangat fantastis, namun ia membagikannya kepada kerabat, handai taulan dan juga fakir miskin. Tak seorangpun datang ke rumahnya dan pulang dengan tangan hampa. Jika ada sahabatnya yang mati syahid, maka dia berkata; “Saya adalah ayahanda anak-anak yatim”.
Sebenarnya ia adalah orang yang paling kaya, namun bekas-bekas tikar membekas dipunggungnya hingga membuat Umar, sahabat dekatnya menangis. Rumahnya hanya bilik-bilik kecil di samping masjid Nabawi, yang jika ia bangun untuk shalat malam, ia harus menekuk kaki istrinya saking sempitnya, namun hati dan jiwanya luas tak bertepi. Inilah makna Firman Allah swt; “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri. Terasa begitu berat olehnya penderitaan kalian. Begitu berharap akan keselamatan kalian. Dan terhaadap orang-orang yang beriman, ia begitu pengasih lagi penyayang”. (QS: At Taubah: 128)
Bersambung…
Klaten, 12/7/20017
Suhari Abu Fatih
Ma’had Al Fatih
#CintaSunnahCintaRasulullah
#DakwahIslam
#Ummati