Pesantren, bukan boarding school (1)

Di kampung kami, Pati dan sekitarnya kehidupan pesantren nyaris tanpa kompetisi yang negatif atau istilah Jawa-nya “saing-saingan”. Okeh-okehan murid misalnya atau apik-apikan gedung dan lain sebagainya.

Bahkan tak jarang seorang kiyai diminta ngajar di pesantren milik kiyai yang lain dan sebaliknya. Dan tak jarang pula jika satu pesantren kelebihan murid, murid yang tidak diterima di pesantren tersebut akan diarahkan ke pesantren yang lain milik kawan kiyai tersebut.

Salah satu faktor penentu kerukunan dan spirit ta’awun antar kiyai dan pesantren tersebut adalah kebersihan hati mereka karena hampir semua kiyai di Pantura adalah murid-murid Madrasah Ihya’ Ulumuddin Imam Ghozali rahimahullah ta’ala. Maksudnya, hampir semua kiyai Pantura-nan adalah pengikut tasawuf dan pegiat tarekat.

Murid-murid Ihya’ adalah orang-orang yang paling keras mendidik jiwa mereka agar tidak memiliki musuh dari kalangan umat Islam atau sekedar menyimpan ghil-ghil (ganjalan hati) terhadap sesama muslim. Mereka sibuk belajar Asrarul ibadah sebelum belajar bagaimana beribadah dengan benar. Mereka lebih mementingkan thaharah batiniah sebelum thaharah lahiriah.

Maka banyak sedikitnya murid di pesantren mereka tidak akan terlalu mempengaruhi hubungan antar kiyai tersebut.

Banyak sedikitnya murid itu sama persis dengan pembagian rezeki. Rezeki sedikit yang disyukuri jauh lebih baik daripada rezeki yang banyak namun diingkari.

Begitu pula dengan jumlah murid. Murid sedikit yang diasuh dengan sepenuh hati jauh lebih utama daripada murid yang banyak tapi dikelola dengan asal-asalan. Begitu kurang lebih.

Maka sejak masih dalam tataran konseptual, para mu’assis PPM Alfatih Klaten lebih memilih kualitas daripada kuantitas. Jumlah itu penting namun mutu dan kualitas jauh lebih penting. Bukankah seringkali golongan yang sedikit itu mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? (QS: Al Baqarah: 249)

Indonesia yang jumlah penduduknya kurang lebih 270 juta ini konon 80% asetnya dipegang dan dikuasai oleh sembilan orang saja, yang kemudian dikenal dengan julukan Sembilan Naga.

Hal ini menunjukkan jumlah penduduk kita yang begitu besar hanya menjadi market bagi orang lain. Dan ini harus disadari oleh para kiyai sehingga para kiyai harus lebih menitikberatkan pada nilai dan kualitas daripada jumlah dan kuantitas.

Umat ini sudah terlalu lama menjadi buih. 1,7 miliar muslim di dunia ini tak mampu berbuat apa-apa di hadapan kedzaliman dan kejahatan Israel. Ini adalah bukti nyata jika kita sebagai umat ini adalah buih, tak berbobot dan rendah kualitas.

Bersambung….

Suhari AF
Pengasuh PPM Alfatih Klaten

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *